Tak seorang pun di sekolah yang mau bermain dengan Loni, sampai muncul seorang
gadis kecil di kelasnya, pada suatu pagi.
“Kamu boleh duduk di mana
saja,” kata guru kelas pada si gadis kecil.
Gadis kecil berusia sembilan
tahun itu menatap sekeliling kelas dan melihat beberapa bangku kosong di
sekitar. Lalu pandangannya bertemu dengan binar harapan di mata Loni, anak
perempuan bertubuh setinggi Ibu Guru, dengan rambut kepang dua seperti dirinya.
Dengan yakin ia mengambil tempat duduk di samping Loni, diiringi pandangan heran
dari semua murid.
Beberapa jam kemudian isi kelas dikejutkan dengan
penyakit Loni yang muncul tiba-tiba. Loni kejang-kejang! Bulatan hitam di
matanya nyaris menghilang. Dari mulutnya keluar busa. Beberapa teman Loni
menyingkir, yang lain berbisik-bisik dan tertawa. Si gadis kecil tampak cemas.
Bersama beberapa guru ia menemani Loni ke puskesmas terdekat.
Seminggu
kemudian, setelah pulih, Loni tampak takjub karena murid baru, gadis kecil itu
masih duduk di situ. “Mengapa kamu duduk di sini?” tanyanya. “Mengapa kamu mau
bermain dengan saya? Apa kamu tidak tahu saya punya penyakit aneh?” tanya Loni
terbata-bata. Tetapi si gadis kecil hanya tersenyum.
Ketika Loni diusili
teman sekelas, ketika ada yang menjambak dan menendang Loni, ketika semua
beramai-ramai mengejek Loni, gadis kecil membelanya. Begitu juga sebaliknya.
Loni akan bersedih dan mencoba membantu sebisanya ketika gadis kecil mendapat
kesulitan. Di waktu luang, gadis kecil mengajari Loni pelajaran sekolah. Semakin
lama mereka semakin akrab. Gadis kecil berhasil menjadi juara kelas. Loni yang
dua tahun tinggal kelas dapat naik ke kelas empat.
Suatu hari Loni tak
masuk sekolah. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan Loni tak muncul. Gadis kecil
sedih mendengar Loni tak lagi sekolah. Kedua orangtuanya bilang percuma
menyekolahkan Loni, sebab penyakit Loni sering kambuh. Ia juga sering mengamuk
pada siapa saja.
Gadis kecil sedih. Ia datang ke rumah Loni, tetapi Loni
tak ada. Gadis kecil tak percaya ketika orang-orang berkata Loni kini menjadi
anak jalanan, berkeliaran di jalan-jalan.
Suatu sore, si gadis kecil itu
pulang menuju rumahnya. Ia harus berjalan melalui lorong pasar yang sudah cukup
gelap. Tak seorang pun di sana, ketika tiga lelaki jahat tiba-tiba menyergapnya!
Gadis kecil tak bisa berteriak karena mulutnya disekap. Ia akan diseret ke
tempat yang lebih gelap! Tiba-tiba sesosok bayangan datang dan memukuli
orang-orang itu sambil berteriak. Ia mengibas-ngibaskan rantai panjang yang
dibawanya ke udara. Para lelaki itu kocar-kacir. Orang-orang mulai berdatangan
mendengar lengkingannya.
“Loni!” panggil gadis kecil gembira.
Loni membelai rambut gadis kecil dan memeluknya. Tetapi ia tampak sangat
berbeda. Ia begitu lusuh. Bajunya sobek di sana-sini. Pergelangan tangannya
dipenuhi karet warna-warni. Begitu juga rambutnya. Rantai panjang yang sejak
tadi dipegangnya, kini dililitkannya di pinggang. Airmatanya tiba-tiba menitik
ketika ia berkata, ”Hanya kamu…temanku…, hanya kamu….”
Tahun terus
berlalu. Gadis kecil tumbuh remaja. Ia tahu, ia mempunyai seorang teman yang
hingga kini masih berkeliaran di jalan dan di pasar-pasar. Sesekali ia
menyelusuri pasar dan jalan-jalan, berharap dapat bertemu dengan Loni.
“Orang gila! Orang Gila! Lariii!”
“Loni gila! Loni gilaa!”
Gadis kecil masih menawarkan persahabatan seperti dulu, tetapi Loni
menghindari.
“Loni, kamu temanku…kamu tidak gila!” kata si gadis. “Aku
akan menolongmu….”
Airmata Loni berderai. “Kamu temanku…,pergilah…,"
suaranya pelan. “Hanya kamu…temanku selamanya…,satu-satunya…, karena itu…kamu
harus…pergi….”
Sejak saat itu gadis itu tak pernah lagi bertemu dengan
Loni. Tetapi di mana pun Loni berada, gadis itu tahu Loni akan selalu berada di
hatinya.
copyright by www.helvytianarosa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar